Wednesday, June 24, 2009

SISTEM POLITIK TURKI



Sistem politik Turki sebelum sistem politik demokrasi ala barat yang diterapkan di Turki saat ini, sebenarnya Turki telah menganut sistem politik islam. Yang mana dalam sejarahnya sistem politik ini pernah berjaya yaitu pada masa kekhalifahan Utsmani. Dalam sistem politik Islam pemilihan khalifah harus terpenuhi syarat legal dan keutamaannya yaitu beragama islam, baligh, berakal sehat, merdeka; ketika dilakukan pemilihan dan dipilih di bai’at; ada Mahkamah Mazhalim untuk menghilangkan kejahatan yang terjadi maksudnya kejahatan yang melanggar syariat Islam; dalam pemilihan anggota majelis Ummat dipilih lewat pemilu (Majelis Ummat mewakili umat dalam memberikan pendapat ,sebagai rujukan khalifah untuk meminta masukan atau pendapat yang terkait dengan kebijakan); Majelis Ummat memiliki hak syura (musyawarah) dan mempunyai kewajiban muhasabah (mengontrol & mengoreksi khalifah); dan masih banyak yang lainnya.
Sebelumnya, Turki adalah sebuah negara yang diagungkan oleh negara-negara berpenduduk muslim di dunia karena merupakan pusat peradaban Islam, tiba-tiba sekarang menjadi negara yang sangat anti terhadap simbol-simbol yang terkait dengan islam. Turki adalah sebuah negara berpenduduk mayoritas muslim yang pernah memimpin dunia islam selama 700 tahun, yaitu sejak permulaan abad ke-13 sampai jatuhnya Kekhalifahan Utsmani pada awal abad ke-20. Sungguh mengherankan apabila sekarang Turki menjadi negara yang menganut sistem politik demokrasi ala barat, sistem ini membawa nilai-nilai sekularisme.
Mustafa Kemal Ataturk mendirikan Republik Turki apada tahun 1923. Republik tersebut mengacu pada nilai-nilai barat atau sekularisme, maka dia yang juga merupakan presiden pertama dalam pemerintahan Republik Turki menjalankan sistem politik demokrasi ala barat. Modernisasi yang dilakukan Kemal yang mengkiblat ke Barat, misalnya dia mengganti penggunaan huruf Arab menjadi huruf Latin, poligami dilarang, perempuan diberi kebebasan yang sama dengan laki-laki, larangan memakai jilbab, penghapusan sistem khalifah, penutupan sekolah-sekolah islam tradisional, pembubaran pengadilan agama, penghapuusan tarikat, melarang pemakaian penutup kepala khas dinasti Utsmani bagi laki-laki dan lain-lain.
Untuk menjaga sistem politik demokrasi ala barat maka pemerintah Kemal menggunakan militer untuk menumpas hal-hal yang terkait dengan islam itu sendiri.
Ketika terjadi peralihan Turki ke sistem multi-partai pada tahun 1946, militer tetap dominan menjaga sistem politik demokrasi ala barat dan nilai-nilai sekulerisme. Banyak partai-partai yang ada di Turki misalnya AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi), Partai Refah, Partai Rakyat Republik, Partai Demokrat, Partai Fadilah, Partai Saadat dan masih banyak yang lain. Selama ini setiap terjadi kemenangan partai politik yang berbasis Islam selalu diikuti dengan upaya kudeta dan pembubaran partai politik.

APAKAH NEGARA-NEGARA MENGINGINKAN HUKUM INTERNASIONAL?

Hukum internasional pada hakekatnya adalah sebuah peraturan yang mengatur hal-hal yang terkait dengan internasional. Jika dalam benak kita timbul pemikiran tentang apakah negara-negara menginginkan hukum internasional? Pertanyaan ini kemudian mencuat sebagai isu-isu global yaitu terkait dengan masalah kedaulatan negara. Lalu bagaimana korelasi antara hukum internasional dengan kedaulatan negara? Teori Hobessian menolak adanya hukum internasional karena dalam pemikiran teorinya negara merupakan satu-satunya aktor yang mempunyai kedaulatan penuh. Kedaulatan yang dimaksudkan adalah negara berhak atas dirinya sendiri dan memutuskan segala sesuatu sesuai dengan keinginannya sendiri tanpa ada campur tangan negara lain. Ketika muncul yang namanya hukun internasional maka hal ini tentu saja dapat mengikis kedaulatan suatu negara. Negara harus rela mengorbankan kedaulatannya untuk dunia internasional. Dengan kata lain negara akan merasa dibatasi ruang lingkupnya sehingga tidak leluasa dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan nasional. Bila dicermati sebenarnya ada titik kesalahan pada teori itu mengenai “mengekang kebebasan negara dalam memutuskan kebijakan nasional”. Teori Grotian menjelaskan kesalahan tersebut. Kaum ini mendukung adanya hukum internasional. Hukum ini ada supaya dapat membatasi perilaku menyimpang negara karena sebebas-bebasnya negara harus ada pembatas. Sebenarnya maksud Grotian adalah membawa kita kepada perdamaian dunia secara menglobal.
Masih terkait dengan teori Grotian yang menyetujui adanya hukum internasional. Masalah low politic dalam kasus HAM adalah penguatan dari teori Grotian. Bandingkan dengan melihat teori Hobessian mengenai “kedaulatan penuh dan mutlak”, justru akan menimbulkan kekhwatiran penyalahgunaan kekuasaan. Persoalan datang ketika suatu negara melakukan kebijakan nasional yang dinilai salah atau menyimpang pada kacamata internasional misalnya dengan melakukan pelanggaran HAM. Kasus nyata terjadi di Myanmar beberapa waktu yang lalu yaitu penduduk dan biksu di Myanmar melakukan aksi demo menginginkan demokrasi tetapi karena ketatnya pengaruh junta militer maka dengan keras melarang aksi demo tersebut dengan cara menembakkan gas air mata dan memenjarakan biksu-biksu yang berdemo. Kejadian ini kemudian menyedot banyak perhatian masyarakat internasional. Masyarakat internasional mengecam pemerintahan junta militer di sana. Menurut masyarakat internasional keinginan seorang dalam mengeluarkan pendapat adalah hak setiap individu. Ketika hal ini dilarang maka telah terjadi pelannggaran HAM. Melihat kenyataan ini apakah teori Hobessian masih bisa dipertahankan?
Hukum HAM pada awalnya dikemukakan oleh Grotian pada abad ke-17 dan diikuti oleh banyak pendukungnya. Pada intinya sah-sah saja ketika ada negara yang melakukan pelanggaran HAM sehingga negara lain dan organisasi internasional mempermasalahkannya.
Hal yang paling krusial yang perlu digarisbawahi mengenai HAM yaitu masalah ini bukan menjadi tanggung jawab negara (secara individu saja) tetapi sudah lingkup internasional. HAM adalah hak-hak yang melekat pada segenap diri manusia sehingga mereka diakui kemanusiaannya “tanpa membedakan jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama, politik, bangsa, status sosial, kekayaan dan kelahirannya” (Deklarasi PBB tentang HAM, 1948). Jadi jelas bahwa pada hakekatnya hukum HAM ada untuk memusatkan perhatiannya pada individu-individu, non-diskriminasi dan perlindungan yang sama (equal protection). Hukum HAM merupakan alat pertanggungjawaban internasional terhadap kebijakan nasional suatu negara. Melihat fakta-fakta empirik yang terjadi yaitu mengenai balance of power (peningkatan kapabilitas militer). Maka masalah HAM akan mendapat perhatian lebih besar. Mengapa? Karena kehidupan manusia akan semakin menegang dan hal ini akan menimbulkan kesadaran dunia untuk meletakkan HAM di atas kepentingan nasional negara. Sehingga hukum HAM akan semakin kompleks di kanca internasional.